RUU Haji: Pembahasan DIM Tuntas, Timus-Timsin Melaju di DPR RI

Jakarta, Sabtu (23/8/2025) menjadi saksi rampungnya pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kesuksesan ini diumumkan langsung oleh Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto, yang memberikan gambaran jelas mengenai tahapan selanjutnya dalam proses legislasi krusial ini. Proses yang intensif ini mencerminkan komitmen bersama untuk menyempurnakan regulasi yang mengatur haji, demi memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah Indonesia.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi komitmen pemerintah dan parlemen dalam menyempurnakan regulasi haji. Tahap krusial ini menandai langkah maju dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Tentu, ini semua bertujuan memberikan perlindungan maksimal kepada jemaah serta memastikan kelancaran proses ibadah.
Baca Juga: Mengejutkan! Pedagang Mi Ayam di Jaktim Temukan Mortir Bekas, Dikira Termos?
Fokus Beralih: Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
Setelah menuntaskan pembahasan DIM, agenda utama selanjutnya adalah pembentukan tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin). Bambang Eko Suhariyanto menjelaskan bahwa kedua tim ini akan mulai bekerja pada hari berikutnya. Timus dan timsin memiliki peran sentral dalam memastikan harmonisasi substansi RUU, termasuk kesesuaian nomenklatur dan penyelarasan antara berbagai pasal.
“Besok kita akan ngurusin timus timsin. Besok timus timsin. Sehingga kemudian kita akan lihat lagi disitu kesesuaian dan sebagainya,” kata Bambang, mengisyaratkan pentingnya detail dalam tahapan berikutnya. Urusan nomenklatur menjadi perhatian khusus, mengingat dampak langsungnya terhadap kejelasan dan efektivitas undang-undang. Keselarasan ini akan mempermudah implementasi undang-undang nantinya.
Perdebatan Krusial dalam Pembahasan DIM
Pembahasan DIM RUU Haji diwarnai dengan sejumlah perdebatan krusial yang mencerminkan kompleksitas isu yang diatur. Salah satu isu yang menjadi fokus perhatian adalah terkait batas usia minimal keberangkatan jemaah haji. Perubahan ini, dari yang awalnya 18 tahun menjadi 13 tahun, menunjukkan adanya upaya adaptasi terhadap realitas sosial sekaligus mempertimbangkan aspek perlindungan anak.
Baca Juga: Rumah Penculik Kacab Bank di Jakarta Pernah Disita: Pengakuan Bu RT Johar Baru
Bambang mencontohkan, “Misalnya tentang umur keberangkatan. Yang awal itu kan 18, sekarang jadi 13.” Perubahan ini juga mempertimbangkan batasan usia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, seperti yang dijelaskan oleh Bambang. Proses penyelarasan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan analisis mendalam terhadap implikasi hukum serta sosialnya.
Baca Juga: Kisah Jonan: Setengah Mati Melawan Asap Rokok Demi Udara Bersih di Kereta Api
Petugas Embarkasi: Inklusivitas dan Profesionalisme
Selain isu usia, pembahasan DIM juga menyentuh aspek penting lainnya, termasuk mengenai keanggotaan petugas embarkasi. Keputusan untuk memperbolehkan petugas embarkasi dari kalangan non-muslim menunjukkan semangat inklusivitas dalam penyelenggaraan haji. Langkah ini sejalan dengan prinsip negara yang menjamin kebebasan beragama dan memperkuat persatuan bangsa.
“Embarkasi misalnya di Manado misalnya. Kemudian petugas embarkasinya non-muslim kan boleh juga,” jelas Bambang, mencontohkan. Keputusan ini juga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan efisiensi dalam pelayanan jemaah haji. Petugas haji daerah juga masih akan tetap dilibatkan, menggunakan kuota haji reguler.
Partisipasi dan Peran Pemerintah
Rapat pembahasan DIM RUU Haji dihadiri oleh berbagai perwakilan pemerintah yang menunjukkan komitmen bersama. Anggota Komisi VIII DPR RI, Achmad, mengkonfirmasi kehadiran perwakilan dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Keterlibatan aktif pemerintah menunjukkan keseriusan dalam memastikan kualitas dan keberlangsungan regulasi yang adaptif terhadap perubahan zaman.
Adanya partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, menjadi kunci keberhasilan dalam penyusunan regulasi haji yang komprehensif. Keterlibatan ini sejalan dengan semangat kolaborasi untuk menghasilkan regulasi yang terbaik. Diharapkan, RUU ini akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan haji dan umrah di Indonesia. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance dan prinsip akuntabilitas.



