Ultimatum Arab Saudi ke Indonesia: Komisi VIII DPR Sigap Amankan Arafah

Update: 23 August 2025, 23:25 WIB

Komisi VIII DPR Ungkap Ada Ultimatum dari Arab Saudi untuk RI, Terkait Apa?


Indonesia saat ini menghadapi situasi krusial terkait penyelenggaraan ibadah haji setelah menerima ultimatum dari pemerintah Arab Saudi. Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mengemukakan bahwa ultimatum tersebut mendesak Indonesia untuk segera menetapkan wilayah spesifik di Arafah.

Konsekuensi dari ketidakpatuhan atas batas waktu yang ditentukan sangat signifikan, sebab area yang secara historis digunakan oleh jemaah Indonesia dapat dialokasikan kepada negara lain. "Surat yang kami terima mengindikasikan bahwa Indonesia telah diultimatum secara resmi," jelas Marwan Dasopang dalam rapat penyampaian pertimbangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji bersama DPD RI.

Ia menambahkan, jika kepastian area di Arafah tidak dikonfirmasi pada tanggal 23 Agustus 2025, maka potensi kehilangan wilayah layanan jemaah sangat nyata. Pernyataan tersebut disampaikannya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Sabtu, 23 Agustus 2025, menunjukkan betapa mendesaknya kondisi ini.

Akselerasi Revisi Undang-Undang Haji Menjadi Prioritas Utama

Menyikapi tekanan diplomatik tersebut, Marwan Dasopang menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Haji harus secepatnya dituntaskan. Prosesi perhajian di Arab Saudi sendiri sudah memasuki tahap persiapan yang intensif, menggarisbawahi urgensi penyelesaian regulasi domestik ini.

Baca Juga: Tragedi di Istanbul: Dua Remaja Belanda Ditemukan Tak Bernyawa, Ayah Syok Berat

"Di Saudi, proses perhajian telah berlangsung dengan dinamis," ujarnya, menekankan bahwa undang-undang ini vital untuk segera diakselerasi. Komitmen Panitia Kerja (Panja) dan Komisi XIII, bersama pimpinan DPR RI, telah mencapai kesepakatan untuk mengupayakan pengambilan keputusan tingkat 2 pada tanggal 26 Agustus 2025.

Langkah Proaktif Pengamanan Wilayah dan Anggaran Masyair

Dalam respons tanggap, Komisi VIII DPR RI juga telah menggelar rapat persetujuan untuk memanfaatkan uang muka dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Inisiatif ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan finansial terkait alokasi wilayah yang bisa digunakan Indonesia di Arafah pada musim haji mendatang.

"Maka kemarin kami telah melaksanakan raker guna menyetujui penggunaan uang muka dari BPKH," sebut Marwan, mengindikasikan bahwa langkah konkrit telah diambil. Pendekatan proaktif ini menjadi krusial untuk mitigasi resiko kehilangan zona strategis bagi jemaah haji Tanah Air.

Sebelumnya, Komisi VIII DPR RI telah menyetujui permintaan dari Kementerian Agama dan Badan Penyelenggara (BP) Haji untuk melakukan pembayaran masyair haji tahun 2026. Pembayaran masyair ini merupakan langkah prevantif demi memastikan jemaah Indonesia mendapatkan posisi zona stategis di puncak ibadah haji.

Kesepakatan penting ini dicapai berdasarkan hasil rapat kerja Komisi VIII bersama Kementerian Agama, BP Haji, dan BPKH pada hari Kamis, 21 Agustus 2025. Masyair haji sendiri merujuk pada biaya esensial untuk seluruh rangkaian prosesi ibadah selama di Arafah, Mina, dan Muzdalifah, yang merupakan komponen integral dari ibadah haji.

Rincian Pembayaran Uang Muka BPKH untuk Masyair Haji 2026

Dalam rapat koordinasi yang berlangsung, Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengajukan persetujuan atas tiga poin kesimpulan vital. "Tiga poin yang sudah kita rancang dan susun redaksinya telah mencakup kebutuhan kita, oleh karena itu saya meminta persetujuan apakah setuju dengan tiga poin tersebut?" tanyanya, memastikan konsensus parlemen.

Baca Juga: Tragis! Nurminah di Lombok Barat Dibunuh Pacar, Mayatnya Dicor dalam Septic Tank

Permintaan pembayaran masyair untuk haji 2026 telah ditetapkan dengan nilai fantastis sebesar Rp 627.242.200. Dana substansial ini akan disalurkan melalui uang yang saat ini dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Secara eksplisit, Komisi VIII DPR RI telah meminta BPKH untuk segera melakukan transfer uang muka Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tersebut. Dana ini akan dipergunakan untuk keperluan pembayaran tenda dan berbagai layanan masyair pada penyelenggaraan ibadah haji 1447 Hijriah/2026 Masehi, bahkan sebelum terbitnya keputusan presiden yang secara definitif menetapkan BPIH.

Keputusan ini mencerminkan determinasi pemerintah dan parlemen untuk menjamin kelancaran ibadah haji, terlepas dari tantangan administratif maupun diplomatik. Studi yang dipublikasikan oleh lembaga kajian kebijakan haji internasional kerap menyoroti esensi persiapan dini dalam menjamin kelancaran dan kenyamanan jutaan jemaah, sebagaimana upaya proaktif ini.

Implikasi Jangka Panjang dan Urgensi Koordinasi Lintas Sektor

Ultimatum dari Arab Saudi ini bukan sekadar persoalan teknis alokasi lahan, melainkan merupakan refleksi dari kompleksitas manajemen haji global yang kian dinamis. Kordinasi yang padu antara DPR, Kementerian Agama, dan BPKH menjadi esensial untuk menyikapi setiap tantangan yang muncul secara responsif.

Penyelesaian RUU Haji yang dipercepat dan keputusan penggunaan uang muka BPKH secara sigap menunjukan komitmen konstitusional Indonesia terhadap pelayanan jemaah. Ini adalah upaya strategis untuk mempertahankan posisi penting Indonesia sebagai negara dengan kuota haji terbesar di dunia, serta memastikan kenyamanan dan keamanan jemaah dalam menunaikan rukun Islam kelima ini.

Baca Juga: ATR/BPN: Dukungan Pemda Kunci Sukses Penerbitan Sertifikat Tanah di Indonesia


Artikel Terkait